Tercebur Ke Dunia Konstruksi Indonesia

Berbicara tentang penyedia jasa kontruksi, atau biasa disebut kontraktor, saya semakin masuk kedalam dunia ke-PU-an semakin paham, bagaimana peran dan fungsi PU (maksud saya adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) yang sesungguhnya. Hal ini betul-betul meluluh-lantakkan pandangan saya beberapa tahun silam tentang peran “owner” dalam hal ini PU di dunia Konstruksi.

Pekerja tanpa perlindungan APD
Dahulu, ketika bekerja di BUMN kelas wahid-nya di Indonesia bidang Konstruksi saya berpikir kok enak sekali jadi owner, tinggal perintah, tunjuk sana tunjuk sini, minta itu minta ini sama kontraktor, semua disiapkan oleh kontraktor, kemudian di subordinasikan ke saya selaku engineer pada waktu itu, lembur tiada bertepi, pontang-panting, peras keringat, semua berujung pada output yang terbaik guna menghasilkan pekerjaan yang sesuai spek dan juga segala “tetek bengek” yang diinginkan oleh owner. Pokoknya, selaku kontraktor harus selalu siap memenuhi apa yang diinginkan oleh owner. Sungguh pengalaman yang sangat membekas di ingatan saya.
 
Bertahun-tahun berlalu, sampai akhirnya saya diberi kesempatan sebagai anak buahnya owner di wilayah timur Indonesia. Realita mulai berdatangan. Bertemu dengan kontraktor-kontraktor lokal membuat saya bergidik. Oh ternyata begini tugas owner itu. Tidak semudah “tunjuk jari”. Apa pasal? Nah ternyata beginilah wajah dunia konstruksi Indonesia yang sesungguhnya. Saya tersadar, ternyata gambaran saya dahulu tentang kontraktor yang professional itu memang baru ada di BUMN dan kontraktor besar lainnya. Sementera kontraktor kecil dan menengah masih dibilang perlu “Pembinaan”. Pembinaan oleh siapa? ya oleh Owner itu sendiri.
 
Jangan terlampau berpikir tentang program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) akan diterapkan betul, wong disuruh pakai helm saja susahnya setengah mati. Atau jangan jauh berbicara tentang desain jalan/jembatan yang akan mencapai kenyamanan pengguna jalan hingga puluhan tahun, lah disuruh menjaga nilai slump beton tetap sesuai rencana aja ribet bener.
 
Bertemu dengan kontraktor lokal yang notabenenya masuk kategori kecil sampai menengah memang bikin geleng-geleng kepala, sampe-sampe uban di kepala jadi tambah banyak, hehe. Kita membayangkan pekerjaan kontraktor yang professional tapi ternyata bagi si pemilik perusahaan kontraktor, dunia konstruksi tak lebih dari warung kelontong, modalnya berapa lantas dapet untungnya berapa, tujuan utama yang dikejar adalah profit, jadi kalau bisa untung besar dengan modal yang minim buat apa ngeluarin modal besar. Rata-rata profit yang ingin dikejar adalah 20-50% dari harga kontrak, ini cuma asumsi saya loh.
 
Kalau dipikir secara engineering, memangnya bisa capai keuntungan sebesar itu? sementara Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang dihitung oleh owner hanya mematok maksimal 15% keuntungan wajar (sesuai PERPRES 54 Tahun 2010). Nah belom lagi penawaran yang gila-gilaan oleh kontraktor ketika lelang. Ada yang 90%, ada yang 80% bahkan ada yang <70%, Weleh, mau dapat untung darimana kalo nawarnya aja lebih kejam daripada ibu tiri. Kalo nawarnya saja sudah di angka 80% (misal) kemudian mau untung >15% pertanyaan yang timbul adalah, mau nilep volume di item pembayaran yang mana? Mustahil efisiensi di metode kerja kalo harganya saja sudah jatuh begini. Belum lagi tentang hasil pekerjaan yang disulap dari tidak lolos spesifikasi teknis di lapangan menjadi masuk spesifikasi teknis diatas kertas. Hadeh, makin gak jelas. Baru sampai disitu, njelimetnya dunia persilatan konstruksi di Indonesia sudah bikin pusing kepala.
 
Sekali-kali narsis sama Asphalt Finisher

Akan tetapi dibalik itu semua, menjadi tukang insinyur bertitel owner memang penuh gairah dan tantangan, ada yang perlu dibina dan ada juga yang perlu dibina-sakan, bahkan kalau tidak sanggup, bisa terbinasakan juga oleh kelamnya dunia ini. Tau sendiri kan ini Indonesia, dimana Perijinan dan Persetujuan (Tanda tangan) menjadi komoditas yang paling seksi, hehe, Astagfirulloh.
 
Jadi kesimpulannya, bekerja dimanapun, posisi apapun, jabatan apapun, yang terpenting adalah Niat (ibadah karena Alloh, Amin) dan berusaha yang terbaik. insyaAlloh outputnya juga yang terbaik. Meminjam kata-kata dari senior, “Jika memang tidak bisa merubah sistem dari buruk menjadi baik, paling tidak jangan memperburuk keadaan”. Meskipun terdengar naïf, tapi memang itu yang bisa dipegang, sembari menunggu perubahan dunia konstruksi kita ke jalan yang lurus. Amin.
 
Setuju? Kalau ndak juga gak papa, gak maksa kok. Hehe…

Related Posts:

4 Responses to "Tercebur Ke Dunia Konstruksi Indonesia"

  1. Dan hal yg lebih parah kami rasakan sebagai owner tingkat daerah...kadang kontraktornya baca gambar aja ga bs

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah mas Supri sampe mampir ke sini, hehe
      Kalau sampe baca gambar aja susah trus nawarnya dulu bagaimana ya Mas.
      Geleng-geleng...

      Delete
  2. "sembari menunggu perubahan dunia konstruksi kita ke jalan yang lurus. Amin"

    Perubahan dunia konstruksi ke jlan yg lurus,,, ?
    Berarti banyak yg belok ya pak? Heheheh

    ReplyDelete
  3. Panjenengan lebih pahamlah hehe

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar dengan sopan

Bila tidak memiliki ID blogger bisa menggunakan Name/URL lalu masukkan Nama dan URL facebook/twitter anda. hindari menggunakan Anonim, Terima kasih.