Kota Manado, kala menjelang perayaan Paskah sangat ramai, warga berbondong-bondong turut aktif meramaikan, ada lampu ornamen berbentuk salib berjejer rapi di sepanjang jalan, rumah-rumah di gantung lampu salib kerlap-kerlip, Gereja-gereja dipercantik dengan lampu-lampu hias. Indah nian. bahkan, warga juga berkompetisi membuat dekor salib disertai dengan Patung Yesus lengkap dengan foto-foto yang menggambarkan prosesi penyaliban, yang mungkin bagi Umat Kristiani, hal tersebut adalah sangat bermakna. Kereligiusan warga Manado inilah yang seringkali membuat saya iri. Jangankan berbicara sholat berjamaah di Masjid, sholat tepat lima waktu saja masih sulit.
Terkadang takdir membawa kita supaya belajar. Bagaimana mungkin
Indonesia yang luas dan beragam budaya ini bisa menyatu sebagai bangsa
yang besar. Sampai dengan risalah yang pernah saya pahami, hampir tidak
mungkin Negara ini terbentuk jika bukan dari penduduknya yang religius,
dari Agama apapun. Sebab dengan kereligiusan umat beragama-Nya timbul
sikap toleran yang dewasa. Toleran yang saling menghargai dan tetap
menghormati antar sesama Pemeluk-Nya.
Setelah Perayaan “Dua Natal” tahun 2015 lalu yang hampir bersamaan, Kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW (Menurut Umat Islam) dan Lahirnya Yesus Kristus ke Dunia (Menurut Umat Kristen), kali ini kita akan disuguhkan lagi pada bulan Mei 2016 di waktu yang hampir bersamaan yakni, Memperingati hari Naiknya Nabi Muhammad ke Langit ke Tujuh (Isra’ Mi’raj) dan Bangkitnya Yesus Kristus. Dua hari besar yang hampir bersamaan ini seolah menampar kita untuk selalu ingat bahwa kehidupan yang Damai merupakan tujuan dari kita memeluk agama masing-masing.
Namun terkadang kita seolah-olah lupa akan hal itu. Masih seringkali terjadi provokasi-provokasi yang dilancarkan untuk meruntuhkan kedamaian. Ada saja selentingan kabar beredar di sosial media terkait intoleransi. Ada perusahaan yang melarang karyawati/pegawainya untuk berjilbab dengan alasan tidak sesuai dengan Peraturan perusaahan atau adat setempat. Di daerah lainnya, ada anak perempuan yang dilarang memakai jilbab untuk masuk sekolah oleh guru atau kepala sekolahnya. Sampai ada di suatu daerah Masjid yang dibakar dan umat muslim dilarang merayakan hari besarnya. Ada juga suatu sekte agama tertentu, sering mendatangi rumah-rumah muslim untuk diajak berobat padahal dibalik itu ada upaya mengubah keyakinan muslim tersebut. Pernah juga ada serombongan warga muslim diajak pergi ke Ibu Kota, alasan awalnya diajak untuk pergi jalan-jalan, malahan ketika di lokasi malah diajak mengikuti kegiatan ibadah agama dari si pengajak tersebut.
Pengalaman saya, baik ketika masa kecil di Bekasi maupun ketika kuliah di Solo, saya melihat sendiri sekelompok orang berpakaian rapih, memakai kemeja dan dasi, celana gelap bahan, sepatu hitam mengkilat, terkadang orang-orang tersebut berkulit sawo matang, namun tak jarang pula membawa teman-teman yang berkulit pucat (Bule), mungkin sebagai pemikat, bergerilya dari satu rumah ke rumah penduduk yang lain. Pernah suatu kali selebarannya yang mereka bawa saya baca ternyata tentang ajakan “pengobatan gratis”.
Di beberapa literatur, di tahun 1960an seringkali ada sekelompok orang yang bertamu, awalnya menjajakan buku, tapi belakangan diketahui orang-orang tersebut mengajak tiap pemilik rumah yang didatangi untuk memeluk suatu agama yang berbeda dari yang dipeluknya saat ini. Jika di literatur tersebut penulisnya memiliki pemahaman agama yang cukup sehingga bisa menolak ajakan tersebut, namun bisa dibayangkan bagi umat muslim lain yang dipelosok-pelosok, yang miskin, berkekurangan, minim pemahaman agama, akan sangat mudah dipengaruhi dan diajak keluar dari Islam. Sebagai bahan pengingat, sebenarnya akibat hal-hal provokasi tersebut, Presiden RI ke-2 Pak Harto pernah menginisiasi pertemuan antar umat beragama yakni Musyawarah Antar Agama pada tanggal 30 November 1967 dengan salah satu kesimpulan sebagai berikut:
“Oleh karena agama tidak boleh dipaksakan,-juga tidak oleh Pemerintah-, maka Pemerintah memang tidak berhak untuk memaksakan pemilihan pemelukan Agama kepada warga-warga, sebaliknya Pemerintah mengharapkan agar kehidupan antar-agama berjalan serasi dan saling hormat-menghormati serta tidak ada usaha memaksakan pemelukan Agama itu dari fihak mana pun… Akan tetapi, Pemerintah wajib merasa prohatin, apabila penyebaran Agama itu semata-mata ditujukan untuk memperbanyak pengikut, lebih-lebih apabila cara-cara penyebarannya menimbulkan kesan bagi masyarakat pemeluk agama lain, seolah-olah ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama tersebut…”
Di sisi lain, ada juga pendapat-pendapat miring jika sebuah Perda dibuat dalam bingkai Syariat, misal pelarangan minuman Alkohol, pemakaian Jilbab, penghentian kegiatan ketika waktu Sholat, penutupan sementara tempat makan ketika Bulan Ramadhan, penutupan tempat maksiat, dan berbagai peraturan lainnya, hingga timbul pernyataan bahwa “mayoritas tidak menghargai minoritas” atau bisa dibilang “muslim tidak menghargai non muslim”.
Terus terang, sebagai seorang muslim ada perasaan kurang nyaman terhadap statement tersebut. Tidak pahamkah kita terhadap sejarah? Bahwa sejak dahulu Islam dibawa oleh para Alim Ulama ke Indonesia sejak abad ke-6 melalui dakwah dan perdagangan, bukan melalui invasi dan kolonial?! Pelan-pelan masyarakat Indonesia saat itu disadarkan untuk membebaskan diri akan kekastaan dan perbedaan klas. dakwah yang lembut, ajaran yang praktis ringkas serta fungsional, kesetaraan manusia, penghilangan kasta, kesantunan, menolong yang lemah dan miskin, berbakti kepada orang tua dan semua ajaran yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW pelan-pelan disebarkan dan diterima dengan tangan terbuka oleh Masyarakat Indonesia yang kala itu masih memeluk agama Anismisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. Hingga saat ini Muslim menjadi pemeluk mayoritas umat beragama di Indonesia dengan prosentase lebih dari 88% (Sensus tahun 2010). Kemerdekaan Indonesia mustahil diraih tanpa perjuangan para pendahulu, alim ulama, pemimpin muslim, yang gigih menentang kolonialisme. Bahkan ketika awal kemerdekaan, betapa hebat PKI menghantam umat muslim, namun ketika keadaan berubah, Pesantren-pesantren di Jawa Timur dengan tangan terbuka mengasuh anak-anak dari orang tua yang di cap komunis oleh Negara pada waktu itu. Jadi kita pantas heran jika Muslim selalu disudutkan dan diminta untuk belajar lebih toleransi dan menghargai sesama, padahal yang terjadi sebaliknya. Tidak dipungkiri memang ada oknum satu dua yang berlaku tidak toleran tapi jangan sampai men-generalisir seluruh Umat Muslim, begitupun sebaliknya, ada banyak oknum di pihak lain namun ketika Muslim marah tidak digubris oleh yang berwenang.
Kembali ke pengalaman pribadi, sudah lebih dari setahun saya tinggal di salah satu kota di wilayah timur Indonesia. Saya bersyukur, meskipun menjadi minoritas, warga masyarakat di sini ramah dan terbuka terhadap pendatang. Saking ramahnya, pernah saya diajak untuk hadir dalam ibadah Pranatal?! Saya pikir hanya sekedar bercanda, nyatanya baik secara lisan maupun tulisan ajakan tersebut dilayangkan. Saya hanya bisa tersenyum sambil menolak secara halus. Dulu ketika protes-protes suara azan mengemuka, saya hanya bisa buat “status” di media sosial, bahwa di sini juga sama, namun dilakukan oleh umat beragama lain, Rumah ibadah tersebar merata, hampir tiap Rukun Warga pasti ada Rumah Ibadah, tidak hanya itu, Pengeras suara juga di sebar dibeberapa titik supaya satu lingkungan tersebut dapat mendengar, tak tanggung-tanggung, tiap pagi mulai selesai azan subuh sampai menjelang pukul 05.30 Wita (kurang lebih 1 jam) disuarakan doa-doa dan ritual ibadah agama tersebut. Namun sebagai minoritas umat muslim di daerah tersebut menghormati. Pernah juga saya mengijinkan rumah yang sudah saya kontrak untuk dijadikan tempat ibadah agama lain. Perlakuan-perlakuan tersebut, kalau kita bawa ke ranah “mayoritas harus menghormati minoritas” jelas tidak akan nyambung.
Beberapa hari yang akan datang, Perayaan hari Nyepi di Bali akan dilangsungkan dengan Khidmat, selaku mayoritas di Bali, Umat Hindu berhak merayakannya dengan tanpa gangguan dari Umat beragama lain, alhasil, beberapa kebijakan pun dibuat untuk mendukung acara tersebut, dari mulai penutupan Bandara sementara, penutupan jalan tol sementara, hening tidak ada kegiatan satu pun, bahkan bila hari raya nyepi bertepatan dengan hari Jumat, penduduk yang muslim dengan rela tidak memakai pengeras suara untuk azan dan khotbah. Semuanya saling mendukung demi terciptanya suasana yang saling menghargai dan menghormati.
Kemarin juga dapat kabar di suatu daerah, ada pembangunan masjid yang pelaksanaannya dilakukan bergotong-royong oleh penduduknya, baik yang beragama muslim maupun yang non muslim. Bukankah hal ini menambah kesejukan dan kedamaian kita antar umat beragama?
Oleh karena itu, menjadi wajar jika mayoritas-minoritas menjadi tolak ukur bagi kehidupan di Negara kita yang bersistem demokrasi ini. minoritas menghormati mayoritas, sementara mayoritas menghargai minoritas. Tidak perlu sampai terjadi minoritas berhak mengatur mayoritas atau mayoritas menjadi penindas terhadap minoritas. Maka jika nanti umat muslim mayoritas di daerah tersebut menghendaki dipimpin oleh muslim juga, minoritas wajib menghormatinya, toh di daerah lain yang mayoritasnya non muslim, amat sulit muslim menjadi pemimpin daerah tersebut. Juga ketika ada peraturan daerah yang muncul di untuk mengatur kehidupan beragama mayoritas tersebut supaya lebih religius, minoritas harusnya bisa menghormatinya. Tentu saja selama sesuai tidak menyinggung pemeluk agama lain.
Salah satu teladan terbaik pernah dicontohkan Khalifah Umar Bin Khattab ketika menduduki Kota Yerusalem, Toleransi tertuang dalam Piagam Perdamaian yang bernama al-‘Uhda al-Umariyyah salah satu isinya yakni: Umar Bin Khattab memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas…
Damai Indonesia ku
Pengalaman saya, baik ketika masa kecil di Bekasi maupun ketika kuliah di Solo, saya melihat sendiri sekelompok orang berpakaian rapih, memakai kemeja dan dasi, celana gelap bahan, sepatu hitam mengkilat, terkadang orang-orang tersebut berkulit sawo matang, namun tak jarang pula membawa teman-teman yang berkulit pucat (Bule), mungkin sebagai pemikat, bergerilya dari satu rumah ke rumah penduduk yang lain. Pernah suatu kali selebarannya yang mereka bawa saya baca ternyata tentang ajakan “pengobatan gratis”.
Di beberapa literatur, di tahun 1960an seringkali ada sekelompok orang yang bertamu, awalnya menjajakan buku, tapi belakangan diketahui orang-orang tersebut mengajak tiap pemilik rumah yang didatangi untuk memeluk suatu agama yang berbeda dari yang dipeluknya saat ini. Jika di literatur tersebut penulisnya memiliki pemahaman agama yang cukup sehingga bisa menolak ajakan tersebut, namun bisa dibayangkan bagi umat muslim lain yang dipelosok-pelosok, yang miskin, berkekurangan, minim pemahaman agama, akan sangat mudah dipengaruhi dan diajak keluar dari Islam. Sebagai bahan pengingat, sebenarnya akibat hal-hal provokasi tersebut, Presiden RI ke-2 Pak Harto pernah menginisiasi pertemuan antar umat beragama yakni Musyawarah Antar Agama pada tanggal 30 November 1967 dengan salah satu kesimpulan sebagai berikut:
“Oleh karena agama tidak boleh dipaksakan,-juga tidak oleh Pemerintah-, maka Pemerintah memang tidak berhak untuk memaksakan pemilihan pemelukan Agama kepada warga-warga, sebaliknya Pemerintah mengharapkan agar kehidupan antar-agama berjalan serasi dan saling hormat-menghormati serta tidak ada usaha memaksakan pemelukan Agama itu dari fihak mana pun… Akan tetapi, Pemerintah wajib merasa prohatin, apabila penyebaran Agama itu semata-mata ditujukan untuk memperbanyak pengikut, lebih-lebih apabila cara-cara penyebarannya menimbulkan kesan bagi masyarakat pemeluk agama lain, seolah-olah ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama tersebut…”
Di sisi lain, ada juga pendapat-pendapat miring jika sebuah Perda dibuat dalam bingkai Syariat, misal pelarangan minuman Alkohol, pemakaian Jilbab, penghentian kegiatan ketika waktu Sholat, penutupan sementara tempat makan ketika Bulan Ramadhan, penutupan tempat maksiat, dan berbagai peraturan lainnya, hingga timbul pernyataan bahwa “mayoritas tidak menghargai minoritas” atau bisa dibilang “muslim tidak menghargai non muslim”.
Terus terang, sebagai seorang muslim ada perasaan kurang nyaman terhadap statement tersebut. Tidak pahamkah kita terhadap sejarah? Bahwa sejak dahulu Islam dibawa oleh para Alim Ulama ke Indonesia sejak abad ke-6 melalui dakwah dan perdagangan, bukan melalui invasi dan kolonial?! Pelan-pelan masyarakat Indonesia saat itu disadarkan untuk membebaskan diri akan kekastaan dan perbedaan klas. dakwah yang lembut, ajaran yang praktis ringkas serta fungsional, kesetaraan manusia, penghilangan kasta, kesantunan, menolong yang lemah dan miskin, berbakti kepada orang tua dan semua ajaran yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW pelan-pelan disebarkan dan diterima dengan tangan terbuka oleh Masyarakat Indonesia yang kala itu masih memeluk agama Anismisme, Dinamisme, Hindu dan Budha. Hingga saat ini Muslim menjadi pemeluk mayoritas umat beragama di Indonesia dengan prosentase lebih dari 88% (Sensus tahun 2010). Kemerdekaan Indonesia mustahil diraih tanpa perjuangan para pendahulu, alim ulama, pemimpin muslim, yang gigih menentang kolonialisme. Bahkan ketika awal kemerdekaan, betapa hebat PKI menghantam umat muslim, namun ketika keadaan berubah, Pesantren-pesantren di Jawa Timur dengan tangan terbuka mengasuh anak-anak dari orang tua yang di cap komunis oleh Negara pada waktu itu. Jadi kita pantas heran jika Muslim selalu disudutkan dan diminta untuk belajar lebih toleransi dan menghargai sesama, padahal yang terjadi sebaliknya. Tidak dipungkiri memang ada oknum satu dua yang berlaku tidak toleran tapi jangan sampai men-generalisir seluruh Umat Muslim, begitupun sebaliknya, ada banyak oknum di pihak lain namun ketika Muslim marah tidak digubris oleh yang berwenang.
Kembali ke pengalaman pribadi, sudah lebih dari setahun saya tinggal di salah satu kota di wilayah timur Indonesia. Saya bersyukur, meskipun menjadi minoritas, warga masyarakat di sini ramah dan terbuka terhadap pendatang. Saking ramahnya, pernah saya diajak untuk hadir dalam ibadah Pranatal?! Saya pikir hanya sekedar bercanda, nyatanya baik secara lisan maupun tulisan ajakan tersebut dilayangkan. Saya hanya bisa tersenyum sambil menolak secara halus. Dulu ketika protes-protes suara azan mengemuka, saya hanya bisa buat “status” di media sosial, bahwa di sini juga sama, namun dilakukan oleh umat beragama lain, Rumah ibadah tersebar merata, hampir tiap Rukun Warga pasti ada Rumah Ibadah, tidak hanya itu, Pengeras suara juga di sebar dibeberapa titik supaya satu lingkungan tersebut dapat mendengar, tak tanggung-tanggung, tiap pagi mulai selesai azan subuh sampai menjelang pukul 05.30 Wita (kurang lebih 1 jam) disuarakan doa-doa dan ritual ibadah agama tersebut. Namun sebagai minoritas umat muslim di daerah tersebut menghormati. Pernah juga saya mengijinkan rumah yang sudah saya kontrak untuk dijadikan tempat ibadah agama lain. Perlakuan-perlakuan tersebut, kalau kita bawa ke ranah “mayoritas harus menghormati minoritas” jelas tidak akan nyambung.
Beberapa hari yang akan datang, Perayaan hari Nyepi di Bali akan dilangsungkan dengan Khidmat, selaku mayoritas di Bali, Umat Hindu berhak merayakannya dengan tanpa gangguan dari Umat beragama lain, alhasil, beberapa kebijakan pun dibuat untuk mendukung acara tersebut, dari mulai penutupan Bandara sementara, penutupan jalan tol sementara, hening tidak ada kegiatan satu pun, bahkan bila hari raya nyepi bertepatan dengan hari Jumat, penduduk yang muslim dengan rela tidak memakai pengeras suara untuk azan dan khotbah. Semuanya saling mendukung demi terciptanya suasana yang saling menghargai dan menghormati.
Kemarin juga dapat kabar di suatu daerah, ada pembangunan masjid yang pelaksanaannya dilakukan bergotong-royong oleh penduduknya, baik yang beragama muslim maupun yang non muslim. Bukankah hal ini menambah kesejukan dan kedamaian kita antar umat beragama?
Oleh karena itu, menjadi wajar jika mayoritas-minoritas menjadi tolak ukur bagi kehidupan di Negara kita yang bersistem demokrasi ini. minoritas menghormati mayoritas, sementara mayoritas menghargai minoritas. Tidak perlu sampai terjadi minoritas berhak mengatur mayoritas atau mayoritas menjadi penindas terhadap minoritas. Maka jika nanti umat muslim mayoritas di daerah tersebut menghendaki dipimpin oleh muslim juga, minoritas wajib menghormatinya, toh di daerah lain yang mayoritasnya non muslim, amat sulit muslim menjadi pemimpin daerah tersebut. Juga ketika ada peraturan daerah yang muncul di untuk mengatur kehidupan beragama mayoritas tersebut supaya lebih religius, minoritas harusnya bisa menghormatinya. Tentu saja selama sesuai tidak menyinggung pemeluk agama lain.
Salah satu teladan terbaik pernah dicontohkan Khalifah Umar Bin Khattab ketika menduduki Kota Yerusalem, Toleransi tertuang dalam Piagam Perdamaian yang bernama al-‘Uhda al-Umariyyah salah satu isinya yakni: Umar Bin Khattab memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama. Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas…
Damai Indonesia ku
0 Response to "Kala Perayaan Paskah di Pulau Seberang"
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan
Bila tidak memiliki ID blogger bisa menggunakan Name/URL lalu masukkan Nama dan URL facebook/twitter anda. hindari menggunakan Anonim, Terima kasih.