Mencermati kasus Ayu membuat saya tergerak untuk sedikit menulis. Tulisan ini bukan untuk menghakimi mbak Ayu tetapi lebih sekedar menceritakan pengalaman pribadi dan mungkin banyak pengalaman-pengalaman masyarakat lain yang mayoritas (mungkin) juga memiliki pengalaman yang sama seperti penulis.
Pak Sugiyanto dan Ayu |
sumber gambar: www.aktual.co
Sedikit kita tarik ke belakang bagaimana kasus Ayu bergulir, Ayahanda Ayu yang bernama Sugiyanto rela menawarkan ginjalnya untuk dijual agar mendapatkan uang demi menebus ijazah anaknya Ayu yang tertahan di Pondok Pesantren tempat ia bersekolah yang belakangan diketahui bukan karena belum membayar iuran sekolah namun memang ada syarat di Pesantren tersebut dimana setelah lulus mewajibkan seluruh siswanya untuk melakukan pengabdian selama 1 tahun di pesantren tersebut, ini merupakan bentuk balas budi karena selama bersekolah siswa tidak dipungut biaya alias gratis. Berita ini sampai ke telinga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bapak Mohammad Nuh dan akhirnya diselesaikanlah masalah ijazah tersebut ditambah Ayu diberikan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Politeknik Negeri Jakarta. Namun ternyata hal ini tidak dimanfaatkan oleh Ayu dengan baik, Prestasi Ayu buruk bahkan Ayu akan dikeluarkan akibat jarang masuk kuliah dan malah kabur dengan pacarnya yang dikenal lewat media sosial facebook.
Tak ayal hal ini membuat banyak masyarakat yang geram terhadap Ayu dengan menyebut Ayu sebagai orang yang tidak tahu diuntung dan durhaka terhadap orang tua. Sementara itu Pak Sugiyanto merasa malu sekali kepada masyarakat dan Negara khususnya kepada Pak Mohammad Nuh, dulu ia memperjuangkan pendidikan Ayu dengan segala cara namun ternyata Ayu malah bersikap seperti ini. Padahal Pak Sugiyanto ingin anaknya bisa merubah nasib keluarganya, tidak melulu terkungkung dengan kemiskinan dan dengan Pendidikan lah peluang untuk memperbaiki nasib keluarganya bisa berubah ke arah yang lebih baik itu terjadi.
Selama ini saya bertemu dengan banyak orang yang tidak memiliki pendidikan perguruan tinggi merasa menyesal dan berharap bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahannya. Mengapa begitu?, karena di Indonesia ini perbedaan Antara lulusan SMA dengan Sarjana S1 sangat terasa. Dimana-mana selalu begitu baik di pemerintahan maupun di swasta, sebagai contoh di kontraktor dulu tempat saya bekerja, lulusan SMA paling hanya dihargai sebagai office boy atau kalau memang punya kemauan bisa menjadi pelaksana, padahal kalau memiliki ijasah S1 orang tersebut bisa langsung menjadi Engineer dan peluang untuk Karier sebagai manajer terbuka luas. Dari gaji saja sudah sangat jauh berbeda, sekelas OB paling maksimal hanya mendapat Rp. 1.500.000 sementara lulusan S1 bisa langsung mendapat Rp. 3.500.000 bahkan lebih besar.
Maka tak heran kalau Bapak dan Ibu kita seringkali menasehati agar kita memiliki pendidikan setinggi-tingginya, “Bapak dan Ibu rela bersusah payah demi pendidikan kamu nak, sebab Bapak dan Ibu hanya berpendidikan rendah sehingga kehidupan kita saat ini miskin, bukan tidak mau bersekolah namun karena tidak bisa, kakek dan nenek dulu cuma beranggapan yang penting anak-anaknya bisa kerja tapi tidak memikirkan masalah pendidikan karena untuk makan saja sangat sulit waktu itu, nah sekarang Bapak dan Ibu tak mau itu terjadi lagi sama kamu nak, biar Bapak dan Ibu rela tidak makan, rela cari hutang sana sini yang penting kamu bisa bersekolah dan menjadi kebanggaan orang tua.”
Saya sedih dan iba melihat perjuangan Ayahanda Ayu Pak Sugiyanto yang sebetulnya ingin menaikkan derajat keluarganya dengan memberikan pendidikan tinggi kepada anaknya, namun apa daya gayung tak bersambut. Padahal sudah banyak orang yang menyesal dimasa tuanya karena masih berpenghasilan pas-pasan dan hidupnya tidak jelas hanya karena tidak memiliki Ijazah S1, tentu saja lain orang lain cerita tapi dengan pendidikan orang bisa berpeluang lebih besar untuk merubah nasibnya ke arah yang lebih baik.
Kita sama-sama berdoa semoga Ayu bisa tersadar dan kembali bersekolah sehingga bisa meneruskan cita-cita sang Ayah karena bagaimanapun hal ini akan menguntungkan Ayu sendiri di masa yang akan datang, cinta memang patut diusahakan tapi kalo kita lebih jernih berpikir, cinta bukanlah membuat kita sengsara di masa depan, tapi cinta harus mampu benar-benar menjadi kemaslahatan untuk diri sendiri, keluarga dan Negara.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujaadilah: 11)
Maaf sebelumnya nih, karena saya kesini sebagai tamu yg tak diundang, soalnya saya dilarang kesini, tp saya maksa... :D
ReplyDeleteBegitulah org tua, memang selalu memntingkan kepentingan anaknya daripada diri sendiri. Karena anaknyalah yg kelak akan meneruskan garis keturunannya ke depan, jd wajar saja jika terkadang org tua itu mengambil jalan pikiran yg tdk kita mengerti apakah itu bnr atau tdk. apakah itu wajar atau tdk. Justru yg terkadang menjadi pikiran saya. Kenapa mereka yg selalu mengalami kesusahan itu mereka yg tdk punya apa2. Sudah tdk punya apa2 ditimpa susah lg. Sedangkan mereka yg berada, justru lbh byk yg menyia2kannya. Tp jika tdk ada yg seperti itu, mungkin roda kehidupan tdk akan berputar. Semoga yg dilakukan Ayu dan Sugiyanto tdk akan terjadi lagi.
Hahaha, kecenderungan orang kalo dilarang malah makin jadi mas, tapi gak semua orang dan gak semua hal juga hehe
Deletetapi saya tertarik dengan kata-kata mas Penghuni60 : "Tp jika tdk ada yg seperti itu, mungkin roda kehidupan tdk akan berputar."
kalo dipikir iya juga, bisa jadi memang sudah Sunnatulloh-nya begitu, tinggal kita mau selalu berubah ke lebih baik apa tidak...