Masjid Al Azhar dan Buya Hamka

Tiba-tiba saya rindu sekali dengan Masjid Agung Al Azhar. Rindu dengan aktifitas sewaktu masih berkantor di Pusat. Pagi hari sebelum subuh biasanya saya telah rapih dengan kemeja dan celana bahan bersiap untuk berangkat, tak lupa Sholat Subuh terlebih dahulu, berdoa kepada sang pencipta lantas menuju ke Gerbang Tol Bekasi Barat menggunakan sepeda motor. Sesampainya di Gerbang Tol, saya tempatkan motor di penitipan kemudian menunggu Bus Mayasari Bakti AC-05 jurusan Bekasi – Blok M. Biasanya jika saya tidak lewat dari pukul 05.15 pagi masih dapat tempat duduk. Perjalanan dari Bekasi ke Blok M biasanya ditemani dengan buku namun kalau sedang lupa membawa buku bacaan saya melanjutkan tidur di Bus. Sesampainya di wilayah senayan, saya bersiap untuk turun. Sehabis bundaran selang beberapa menit terlihat Masjid Putih besar di sisi kiri jalan, itulah Masjid Agung Al Azhar, Saya pun turun.

Kantor saya memang bersebelah dengan Masjid Agung Al Azhar yang berlokasi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sampai disana seringkali waktu masih menunjukkan pukul 06.00 pagi, atau kalau jalan sedang padat bisa sampai pukul 6.30 pagi. Meskipun saya ini orang yang kurang rajin dalam beragama tapi entah mengapa Masjid putih ini punya daya magnet yang luar biasa. Hati tak ragu memutuskan berhenti sejenak untuk melakukan Sholat Dhuha. Sepatu saya lepas kemudian berwudlu di sisi utara Masjid. Usai berwudlu, saya tapaki tangga menuju lantai 1 Masjid. Saya tapaki anak tangga satu semi satu sembari melihat arsitektur Masjid yang dirancang oleh Ir. Rooseno memang sungguh Indah.

Masjid Agung Al Azhar
Sisi Utara Masjid

Biasanya saya mengambil posisi favorit di sisi utara Masjid dekat dengan jendela agar bisa menikmati pemandangan lapangan yang hijau ditemani dengan semilir angin pagi nan sejuk. Sungguh nikmat rasanya Sholat saat itu, penuh takzim dan khusyuk. Sesekali saya membuka lembaran demi lembaran ayat Al Quran. Saya terkadang masih malu dengan diri sendiri, boro-boro bisa hafal ber juz-juz Al Quran, membacanya saja masih susah tartil, oleh karenanya sehabis sholat seringkali saya manfaatkan dengan membaca Al Quran sambil mempelajari artinya. Sungguh saya merasa khidmat sekali pagi itu.

Kini, saya berjarak ribuan kilometer dari Masjid Agung Al Azhar. Sehabis menamatkan buku “Ayah” karya Haji Irfan Hamka, saya kembali teringat dengan Masjid putih nan megah tersebut. Pikiran saya melayang jauh ke awal tahun 1960an saat Masjid tersebut baru selesai dibangun. Ternyata ada sesosok Ulama besar yang ikut ambil bagian dalam perkembangan dakwah di Masjid tersebut, beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka.


Foto Buya Hamka tahun 1974
Saya ingat ada kata-kata dari Buya Hamka yang sering saya lihat di depan Masjid, “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja , kera juga bekerja.” Pada saat itu saya hanya mengetahui beliau (Buya Hamka) adalah salah satu tokoh besar Islam di awal-awal kemerdekan. Namun setelah saya membaca kisahnya sungguh membuat mata menjadi pedas, tak terasa lelehan air mata mengalir di pipi. Ternyata, beliau bukan hanya sekedar Ulama tetapi juga Pejuang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau disegani kawan maupun lawan. Dibalik ketegasan beliau tersemat jiwa besar negawan yang pemaaf.

Salah satu kisahnya yang membuat kedua mata saya “perih” adalah ketika perseteruan beliau dengan Ir. Soekarno. Sempat beriringan bersama dengan Soekarno demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia namun kemudian berbeda pandangan akan Dasar Negara. Soekarno yang cenderung Nasionalis bersebelahan dengan Buya Hamka yang ingin meleburkan Agama Islam dalam bentuk Negara. Bersitegang itu makin menjadi ketika PKI mulai besar dan mengambil posisi yang menguntungkan di Pemerintahan. PKI yang memusuhi Islam berhasil menekan Soekarno supaya menangkap Buya Hamka dengan tuduhan merencanakan pembunuhan terhadap Presiden. Akhirnya Buya Hamka dijebloskan kedalam Penjada 2 tahun lamanya.

Setelah Soekarno turun dan dijadikan tahanan Politik oleh Soeharto, Buya Hamka bebas. Pada saat menjelang wafat, Soekarno meminta agar bisa disholatkan oleh Buya Hamka. Pesan ini disampaikan kepada Buya Hamka. Dengan tanpa ragu, Buya Hamka langsung berangkat menuju Jenazah Soekarno. Banyak teman-temannya saat itu menyarankan untuk tidak perlu pergi, sebagian ada yang berkata bahwa untuk apa beliau pergi padahal Soekarno sudah memenjarakan beliau selama dua tahun lamanya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa Soekarno itu munafik karena telah dekat dengan golongan anti Tuhan dibanding kepada Islam. Namun jawaban santun keluar dari mulut beliau:

“Hanya Alloh yang mengetahui seseorang itu munafik atau tidak. Yang jelas, sampai ajalnya, dia tetap seorang muslim. Kita wajib menyelenggarakan jenazahnya dengan baik. Saya tidak pernah dendam kepada orang yang pernah menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Alloh kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al Quran 30 Juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.” Ujarnya

Beliau jua berkata, “Ada lagi jasa besar Soekarno untuk umat Islam di Indonesia. Dua buah masjid. Satu di Istana Negara, yaitu Masjid Baitul Rahim, dan satunya lagi sebuah masjid terbesar di Asia Tenggara, yaitu Masjid Istiqlal. Mudah-mudahan jasanya dengan kedua masjid tersebut, dapat meringankan dosa Soekarno.”

Beliau pun lantas menyolatkan Jenazah Soekarno dengan ikhlas tanpa dendam sama sekali.

Begitu pula kisah perseteruannya dengan Pramoedya Ananta Toer. Pada Saat itu, searah pandangan dengan PKI, Pramoedya Ananta Toer mencoba menyerang Buya Hamka melalui media-media corong PKI seperti di Lentera dan Bintang Timur. Dari mulai fitnah plagiarisme karya-karya beliau seperti “Tenggelamnya kapal van der wijk” sampai fitnah politik yang berujung penangkapan Buya Hamka dan dijebloskan ke Penjara. Fitnah yang telah dilancarkan dengan keji oleh Pramoedya Ananta Toer tidak lantas membuat Buya Hamka dendam. Malahan beliau telah memaafkan. Beliau juga tidak setuju dengan adanya pelarangan buku-buku Pramoedya Ananta Toer oleh Presiden Soeharto. Buya Hamka berujar, “Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang tapi tandingi dengan menulis buku pula.”

Jiwa besar dan Pemaaf Buya Hamka berbuah manis. Pada saat Pramoedya Ananta Toer ingin diminta oleh anaknya sulungnya yang perempuan untuk dinikahkan dengan dengan kekasihnya yang non muslim, ia menolak. Calon menantunya tersebut disuruh belajar Agama Islam terlebih dahulu kepada Buya Hamka. Pramoedya Ananta Toer berujar, “Masalah perbedaan pandangan politik dengan Hamka tetap, Tapi dalam hal Ceramah agama di TVRI, Buya Hamka-lah di Indonesia yang paling mantap membahas Tauhid. Belajar Islam ya belajar tahuid.”

Sikapnya yang penuh toleran dan pemaaf tenyata menyimpan kegigihan luar biasa dalam mempertahankan tauhid. Pada zaman Soekarno, beliau sampai merasakan dinginnya hotel prodeo selama 2 tahun lebih akibat berseberangan jalan dengan Presiden yang sedang akrab dengan PKI. Sementara di  Zaman Soeharto, ketika menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Hamka pernah mengeluarkan fatwa Haram bagi umat Islam untuk merayakan Natal Bersama. Meski ditekan sana-sini supaya dicabut, Buya Hamka bergeming, ia lantas lebih memilih berhenti sebagai Ketua MUI daripada mencabut fatwa tersebut.

Begitulah Buya Hamka, meskipun sangat Pemaaf, berjiwa besar dan sangat toleran namun tetap tegas jika menyangkut masalah tauhid dan Islam. Hingga akhir hayatnya beliau tetap disegani kawan maupun lawannya. Beliau wafat pada tanggal 24 Juli 1981 dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir. Masyarakatpun berbondong-bondong untuk bisa menyolatkan Beliau.

Selamat Jalan Buya Hamka, kini engkau dikenang sebagai Pahlawan Nasional oleh kami cucu-cucu penerus mu. Semoga Engkau termasuk Umatnya Nabi Muhammad yang pertama-tama masuk Surga, dan semoga kami dapat melanjutkan perjuangan mu, berdakwah dengan santun tapi tegas.

Tak terasa air mataku keluar kembali, teringat Masjid Putih yang menjadi saksi hidup Buya Hamka. Mudah-mudahan aku bisa sekali lagi menunaikan Sholat disana meski hanya dua Rakaat. Amin.

Manado, 07 Desember 2014

Related Posts:

4 Responses to "Masjid Al Azhar dan Buya Hamka"

  1. Pingin banget kesana, semoga pas bulan ini di Jakarta diberi kesempatan untuk meniti jejak-jejak langkah beliau di sana. bismillah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin, saya juga kangen sama Masjid ini mas Ahmad.. hehe

      Terima kasih, sudah sudi mampir di mari mas

      Delete
  2. Menginspirasi sekali tulisannya tentang sosok Buya Hamka. Mengingatkan saya tentang cerita itu yg juga pernah saya baca di internet. Terima kasih sudah menulis tulisan ini Mas

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar dengan sopan

Bila tidak memiliki ID blogger bisa menggunakan Name/URL lalu masukkan Nama dan URL facebook/twitter anda. hindari menggunakan Anonim, Terima kasih.