Hari Jumat dini hari (26/09/2014) DPR memutuskan secara voting bahwa Pemilihan Kepala Daerah dilakukan langsung oleh DPRD, masyarakat pun terbelah pendapatnya terkait hal ini, ada yang langsung sentimen negatif terhadap hasil keputusan DPR, ada pula sebagian masyarakat cerdas yang mencoba melihat dari sisi Positif, tidak melulu seiya sekata dengan media-media yang saat ini menjadi corong propaganda partai tertentu.
Sentimen negatif mengemuka bak kerbau dicocok hidungnya, maklum mereka masih percaya pada media yang pandai mengemas berita menjadi santapan yang gurih dan renyah untuk dimakan. Padahal media tersebut telah terang benderang mengaku sebagai “alat pengeras suara” pihak tertentu. Namun karena saking renyahnya, segala informasi ini terus diolah, digoreng, dan dimasak dengan bumbu yang pas menjadi makanan yang sangat lezat disantap tiap hari. Masyarakat tak sadar akan racun yang menyelinap masuk pelan-pelan kedalam tubuh. Itu realita dan kita terlalu asik dengan hal itu.
Aksi Protes Anggota Dewan sumber: www.merdeka.com |
Disinilah akal yang diberikan oleh Tuhan seakan meminta untuk dipakai. Dengan Akal manusia mampu menganalisis segala peristiwa yang terjadi disekitar, setidaknya digunakan untuk membaca baik itu tesis maupun antitesisnya agar kita paham betul dimana sudut pandang yang terbaik. Persis seperti melihat gajah, orang yang hanya pernah melihat gajah dari telinganya pasti akan berkata kalau gajah itu adalah hewan bertelinga besar sementara orang yang hanya melihat belalainya pasti akan berkata bahwa gajah adalah hewan yang berbelalai panjang. Apakah keduanya salah? Tidak, tapi benar sesuai dari pandangannya masing-masing, padahal kalau keduanya sudah pernah melihat gajah dalam bentuk yang utuh pasti akan berkata bahwa gajah itu adalah hewan besar yang berwarna keabu-abuan, memiliki telinga besar, belalai panjang, gading mencuat dan kaki yang gempal.
Ada juga istilah yang menjadi ramai “PILKADA kembali ke orde baru” apakah itu salah? Bila dilihat hanya sisi DPRD-nya maka pernyataan itu bisa jadi benar tapi apakah subtansi maupun mekanismenya sama dengan era ORBA? Atau yang lebih simple pertanyaannya, apakah sudah baca RUU PILKADA-nya? Hehehe, sebagian saya yakin jawabannya “bodo amat”.
Era ORBA, gubernur dan wakil gubernur dicalonkan dan dipilih berdasarkan kekuatan rezim yang berkuasa melalui tiga jalur yaitu ABRI, birokrasi, dan Golkar. Karena legitimasi dan proteksi yang kuat dari sistem kekuasaan yang ada maka dukungan publik menjadi dikesampingkan. Lantas apakah hal tersebut akan terulang? Tentunya saat ini angin kuat keterbukaan informasi telah bertiup kencang, dalam RUU PILKADA yang baru telah termaktub pasal-pasal yang mengharuskan seorang calon Kepala Daerah wajib menyampaikan visi misi kepada publik baik itu media cetak ataupun elektronik (tidak tertutup kemungkinan metode penyampaian visi misi berbentuk debat). Publik pun bisa menilai mana calon Kepala Daerah yang pantas maupun yang tidak meskipun pemilihan tetap berada dipundak para wakil rakyat.
Bicara tentang wakil rakyat, saat ini sebagian masyarakat memiliki pandangan yang paradoks, mereka menolak wakil rakyat yang telah dipilih olehnya sendiri. Cara berfikirnya tidak sinkron, mereka berharap seorang Kepala Daerah adalah orang yang sempurna tapi disisi lain masih memilih Partai-partai yang menjadi sarang koruptor, terbukti catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis beberapa waktu yang lalu menyebutkan satu partai ‘baru’ besutan orang nomer satu di Negeri ini dan dua partai lama sejak era ORBA berturut-turut menjadi juara 1, 2 dan 3 terbanyak Anggota legislatif terpilihnya (belum menjabat) yang tersangkut kasus Korupsi. See? Mereka berharap perubahan yang terlahir dari partai dengan segudang koruptor. Hmm.. betul-betul Paradoks.
Ada juga istilah yang menjadi ramai “PILKADA kembali ke orde baru” apakah itu salah? Bila dilihat hanya sisi DPRD-nya maka pernyataan itu bisa jadi benar tapi apakah subtansi maupun mekanismenya sama dengan era ORBA? Atau yang lebih simple pertanyaannya, apakah sudah baca RUU PILKADA-nya? Hehehe, sebagian saya yakin jawabannya “bodo amat”.
Era ORBA, gubernur dan wakil gubernur dicalonkan dan dipilih berdasarkan kekuatan rezim yang berkuasa melalui tiga jalur yaitu ABRI, birokrasi, dan Golkar. Karena legitimasi dan proteksi yang kuat dari sistem kekuasaan yang ada maka dukungan publik menjadi dikesampingkan. Lantas apakah hal tersebut akan terulang? Tentunya saat ini angin kuat keterbukaan informasi telah bertiup kencang, dalam RUU PILKADA yang baru telah termaktub pasal-pasal yang mengharuskan seorang calon Kepala Daerah wajib menyampaikan visi misi kepada publik baik itu media cetak ataupun elektronik (tidak tertutup kemungkinan metode penyampaian visi misi berbentuk debat). Publik pun bisa menilai mana calon Kepala Daerah yang pantas maupun yang tidak meskipun pemilihan tetap berada dipundak para wakil rakyat.
Bicara tentang wakil rakyat, saat ini sebagian masyarakat memiliki pandangan yang paradoks, mereka menolak wakil rakyat yang telah dipilih olehnya sendiri. Cara berfikirnya tidak sinkron, mereka berharap seorang Kepala Daerah adalah orang yang sempurna tapi disisi lain masih memilih Partai-partai yang menjadi sarang koruptor, terbukti catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dirilis beberapa waktu yang lalu menyebutkan satu partai ‘baru’ besutan orang nomer satu di Negeri ini dan dua partai lama sejak era ORBA berturut-turut menjadi juara 1, 2 dan 3 terbanyak Anggota legislatif terpilihnya (belum menjabat) yang tersangkut kasus Korupsi. See? Mereka berharap perubahan yang terlahir dari partai dengan segudang koruptor. Hmm.. betul-betul Paradoks.
Indeks Korupsi Partai Politik sumber: http://politik.kompasiana.com |
Anggota Legislatif 2014 yang Tersangkut Korupsi sumbber: http://www.rappler.com |
Paradoks itupun berlanjut kepada Partai yang memiliki indeks korupsi terkecil. Partai tesebut malahan terus menerus menjadi bahan olok-olok oleh sebagian masyarakatnya sendiri. Tentunya peran media-media sangat besar untuk menggiring opini sorotan negatif kepada Partai ini. Media yang seharusnya bisa menyajikan berita secara netral, informatif nan komprehensif namun tenyata tidak lebih dari sekedar menyajikan berita yang telah menjadi pesanan dari ‘pemilik’. Seperti yang saya nyatakan diawal, media saat ini hanya menjadi corong propaganda partai tertentu (lebih tepatnya “ideologi tertentu”).
Maka Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh DPRD bisa menjadi momentum bagi seluruh pihak.
Maka Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh DPRD bisa menjadi momentum bagi seluruh pihak.
- Pihak yang berkuasa menjadi berpikir 2-3 kali bila ingin mengeluarkan kebijakan yang tidak mendukung kedaulatan rakyat (contoh Penghapusan subsidi BBM).
- Pihak yang mengawasi penguasa bisa solid bersama di barisan rakyat untuk menolak kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kedaulatan rakyat apalagi bila kebijakannya keliru dan telah keluar dari Pancasila dan UUD 1945.
- Pihak Partai akan serius menciptakan kader-kader bermutu baik kecerdasan, kemampuan maupun moralitas (akhlak terpuji), demi menekan angka Indeks Korupsi partai ke titik serendah-rendahnya, karena bila salah dalam mencetak kader makan partai tersebut akan otomatis kehilangan suara yang signifikan dalam PILKADA selanjutnya.
- Pihak Masyarakat pun akan lebih selektif dalam memilih wakil rakyatnya yang duduk di Kursi DPRD, maklum Pemilu hanya ada satu kali di tiap daerah jadi hanya orang-orang terbaik dari Partai dengan Indeks korupsi terkecil yang akan dipilih oleh rakyatnya.
Momentum ini lambat laun mengubah wajah Demokrasi kita, dari murni demokrasi yang liberal menjadi Demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi “Hikmat Kebijaksanaan dalam Pemusyawaratan Perwakilan. Masyarakat pun lambat laun akan semakin peduli dengan Pemilihan Langsung DPRD karena secara tidak langsung masyarakat pulalah yang menentukan siapa Kepala Daerah selanjutnya melalui tangan DPRD.
Akhir kata, Dulu pihak yang merasa menang PILPRES secara pongah menyatakan ketidak-legowoan pihak lain, sekarang serasa menjilat ludah sendiri, dengan Keputusan DPR yang tidak sesuai dengan kepentingan pihaknya sendiri lantas mengancam akan Demo di jalan bahkan akan melakukan Uji materi UU yang baru disahkan tersebut ke MK. Apakah keliru? Hanya hati nurani kita masing-masing yang bisa menjawab. It's About Politic.
0 Response to "Momentum Pembenahan Demokrasi Pancasila"
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan sopan
Bila tidak memiliki ID blogger bisa menggunakan Name/URL lalu masukkan Nama dan URL facebook/twitter anda. hindari menggunakan Anonim, Terima kasih.