Saat ini, setiap hari sekitar 350.000 orang penumpang menyeberang dari Bakauheni ke Merak dan sebaliknya. Sementara kendaraan roda dua dan empat yang memanfaatkan jasa penyeberangan dari Bakauheni ke Merak dan sebaliknya sekitar 25.000 unit per hari. Namun demikian, potensi itu belum didukung dengan penyediaan sarana dan fasilitas penyeberangan yang memadai. Kekurangan sarana kapal penyeberangan selalu terjadi. Antrean panjang di Merak terjadi karena luasan pelabuhan Merak sangat sempit. Didukung sarana tol di wilayah Jakarta—Tangerang yang memudahkan arus, berbagai kendaraan dengan cepat memasuki pelataran parkir pelabuhan. Dalam kondisi kekurangan kapal seperti sekarang, pelabuhan Merak yang luasnya hanya 7,6 hektar dengan kemampuan tampung kendaraan hanya 400 unit jelas menjadi faktor utama penumpukan kendaraan hingga berkilo-kilometer panjangnya. Di Pelabuhan Bakauheni penumpukan kendaraan tidak sempat terjadi karena Pelabuhan Bakauheni dibangun di areal seluas 76 hektar dengan daya tampung parkir 2.000 unit kendaraan aneka jenis.
Terus memburuknya pelayanan penyeberangan di Selat Sunda membuat angkutan dan distribusi barang dari Jawa ke Sumatera dan sebaliknya terganggu. Untuk itu, perlu adanya pembangunan jembatan nasional di Selat Sunda.
Pembangunan jembatan yang melintasi Selat Sunda menjadi salah satu alternatif yang dapat mengurangi banyak kendala, dan masalah sektor transportasi, yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera,
Ide penyatuan Pulau Jawa dengan Sumatera dengan infrastruktur penyeberangan diprakarsai sejak tahun 1960-an. Presiden Soeharto mewujudkannya dalam sebuah studi proyek Tri Nusa Bimasakti (1986-1991) – hasil kerjasama Bappenas, BPPT, Departemen Pekerjaan Umum dengan JICA (Jepang). Ide ini kemudian ditranfer oleh para gubernur se Sumatera yang dalam pertemuannya di Pulau Lagoi, Batam pada akhir 2000, menyatakan perlunya suatu infrastruktur penyambung (belum terungkap apakah berupa jembatan atau terowongan) Pulau Jawa dengan Sumatera. Ide ini terus bergulir, bahkan minta dipercepat (Pertemuan Gubernur se wilayah Pulau Jawa, Bali, NTB dan Lampung).
Mega Proyek pembangunan Jembatan Selat Sunda (selanjutnya disebut JSS) mulai kembali menjadi berita setelah terjadi penandatanganan MOA antara Pemerintah Provinsi Banten dan Lampung dengan PT Bangungraha Sejahtera Mulia (korsorsium Artha Graha Network dan Wiratman & Associates) pada 3 Oktober 2007. Setelah selama 21 tahun, gagasan pembangunan JSS terpendam dan hilang dari peredaran. Gubernur Banten H. Ratu Atut Chosiyah dan rekannya dari Lampung Sjachroedin ZP mencoba mengangkat kembali gagasan tersebut ke permukaan.
Pada tahun 2009, Pra-desain Jembatan Selat Sunda yang merupakan bagian dari pra-studi kelayakan yang telah diselesaikan oleh Wiratman and Associates atas penugasan dari PT. Bangungraha Sejahtera Mulia—Artha Graha Network dan secara resmi telah diserahkan oleh Pemerintah Daerah Banten dan Pemerintah Daerah Lampung kepada Pemerintah Indonesia.
Desain struktur atas Jembatan Gantung Selat Sunda mengacu pada desain Jembatan Selat Messina, Italy, sedangkan desain struktur bawahnya mengacu pada desain Jembatan Akashi Kaikyo, Jepang. Wiratman meyakinkan Djoko Kirmanto dan jajarannya bahwa masalah angin bisa dipecahkan dengan baik dan perlu digarisbawahi bahwa kekhawatiran khalayak akan bahaya letusan Gunung Krakatau yang dianggap bisa masuk ke area sekita JSS adalah salah. Titik pembangunan JSS akan berjarak 50 km dari letak Gunung Krakatau, sedangkan level bahaya letusan paling jauh adalah sejauh 2 km. Dengan perhitungan tersebut, JSS dinilai akan cukup aman dan bahaya Gunung Krakatau tidak lagi menjadi kekhawatiran utama.
Nantinya, JSS diproyeksikan beroperasi tahun 2025 berkapasitas 160.000 kendaraan per hari, dapat melayani angkutan batu bara berkapasitas 1,75 juta ton per tahun. Lebar Jembatan 60 m2, 2x3 Jalur Lalu Lintas Raya, 2x1 Jalur Darurat, Lintasan Ganda (Double Track) Kereta Rel, Pipa Gas, Pipa Minyak, Kabel Fiber Optik Cable, Kabel Listrik, dll
Desain struktur atas Jembatan Gantung Selat Sunda mengacu pada desain Jembatan Selat Messina, Italy, sedangkan desain struktur bawahnya mengacu pada desain Jembatan Akashi Kaikyo, Jepang. Wiratman meyakinkan Djoko Kirmanto dan jajarannya bahwa masalah angin bisa dipecahkan dengan baik dan perlu digarisbawahi bahwa kekhawatiran khalayak akan bahaya letusan Gunung Krakatau yang dianggap bisa masuk ke area sekita JSS adalah salah. Titik pembangunan JSS akan berjarak 50 km dari letak Gunung Krakatau, sedangkan level bahaya letusan paling jauh adalah sejauh 2 km. Dengan perhitungan tersebut, JSS dinilai akan cukup aman dan bahaya Gunung Krakatau tidak lagi menjadi kekhawatiran utama.
Nantinya, JSS diproyeksikan beroperasi tahun 2025 berkapasitas 160.000 kendaraan per hari, dapat melayani angkutan batu bara berkapasitas 1,75 juta ton per tahun. Lebar Jembatan 60 m2, 2x3 Jalur Lalu Lintas Raya, 2x1 Jalur Darurat, Lintasan Ganda (Double Track) Kereta Rel, Pipa Gas, Pipa Minyak, Kabel Fiber Optik Cable, Kabel Listrik, dll
Pembangunannya kurang lebih 13 tahun dan dibagi dua tahap. Tahap pertama studi dan jasa engineering dan Tahap kedua untuk tahap konstruksi. Membutuhkan sekitar 2.000 insinyur sipil dalam perencanaan, desain, dan konstruksi. Menelan biaya sekitar Rp. 100 - 150 Triliun.
Baca Juga Handbook Jembatan Selat Sunda
Semoga saja saya (pen.) memiliki kesempatan untuk bergabung dalam mega proyek ini
udh saya pasang jg gan
ReplyDeletesilakan view di http://pt-erlangga.blogspot.com/2011/08/tukar-link.html
terima ksh..., ya gan
Segeralah direalisasikan secepatnya, kita kan dah terus bayar pajak gunakan dananya tuk pembangunannya, agar tidak terjadi penumpukan dan terganggunya lalulintas jawa-sumatra dikarenakan cuaca dan langkanya kapal penyeberangan karena perbaikan dsb. Supaya menjadikan IKON BARU buat bangsa INDONESIA, masak beritanya hanya korupsi, bencana, bentrokan dan perusakan melulu di negara kita,berharap sering berita yang peresmian ini dan itulah.
ReplyDeleteoke... setuju sama mas irwan
ReplyDelete